.widget.ContactForm,.widget #ContactForm1{display: none !important;}
SELAMAT DATANG DI BLOG SENI RUPA UNISMUH MAKASSAR MEDIA INFORMASI DAN APRESIASI SENI BUDAYA

Jumat, 02 Juli 2010

MENGUNGKAP MASA DEPAN PRILAKU KONSUMERIS DI INDONESIA


Oleh. Muh. Faisal, S.Pd.,M.Pd
Dosen Jurusan Seni Rupa - FKIP Unismuh Makassar

Keberadaan desain komunikasi visual sangat lekat dengan hidup dan kehidupan kita sehari-hari. Ia tak bisa lepas dari sejarah manusia. Karena ia merupakan salah satu usaha manusia untuk meningkatkan kualitas hidup. 
Desain komunikasi visual sangat akrab dengan kehidupan manusia. Ia merupakan representasi sosial budaya masyarakat, dan salah satu manifestasi kebudayaan yang berwujud produk dari nilai-nilai yang berlaku pada waktu tertentu. Ia merupakan kebudayaan yang benar-benar dihayati, bukan kebudayaan dalam arti sekumpulan sisa bentuk, warna, dan gerak masa lalu yang kini dikagumi sebagai benda asing, terlepas dari diri manusia yang mengamatinya. Namun sebelum mengkaji lebih jauh tulisan ini, maka ada baiknya kita mencoba menelusuri fenomena faktual yang telah menjadi buah kisruh terhdap perkembangan budaya kita saat ini.


***********


Terbentuknya Budaya Pop (populer) di Indonesia
Budaya pop tentu tak dapat dipisahkan dari realitas kehidupan kita saat ini, ia melintasi jagad kehidupan manusia dari Timur hingga Barat nusantara, bahkan dalam skala global sekalipun. Wujudnya mudah dijumpai bahkan kita pun mungkin menjadi penikmat setia walau sekali-kali jadi pengutuk. Budaya pop tak dapat dipisahkan dari keseharian kita, mulai dari mode konsumsi, musik, hiburan dan gaya hidup semuanya hadir dan menjadi bagian kehidupan manusia saat ini. Ia mampu meleburkan batas-batas kultural dan bahkan bangsa sekalipun. Jika dulunya manusia dapat dicirikan dengan perbedaan kultur namun kini batasan tersebut lebur dalam massa yang diisapi oleh industri hiburan dan gaya hidup, para selebriti adalah nabinya dan iklan adalah sabda. Di sinilah inspirasi dan gagasan masa kini mendapat legitimasi karena tanpa selebriti seakan hidup tanpa petunjuk.
Namun demikian fenomena ini mendapat sorotan bermacam-macam dari berbagai kalangan kritikus atau pengamat budaya, sebagian kalangan menganggap budaya pop menyebabkan efek hegemoni terhadap konsumennya atau istilah kerennya komodifikasi industri yang hanya melahirkan kesadaran palsu, seperti yang dikecam oleh Adorno dan kawan-kawan dari Mazhab Frankfurt dan begitu pula para pengamat kebudayaan ultra kanan menganggap budaya pop berhasil meleburkan antara budaya tinggi dan budaya rendahan yang banyak dipelopori oleh para penganut postmoderenis. Di samping mudah ditiru budaya pop menciptakan keriangan hidup yang egaliter dan dapat dinikmati oleh siapapun tanpa terikat status sosial yang dibutuhkan hanya kemelekan budaya (cultural literachy).
Untuk konteks Indonesia, icon industri budaya mengacu pada media MTV yang sekaligus pelopor lahirnya berbagai jargon anak muda yang mudah dicerna untuk kehidupan saat ini seperti istilah ‘gue banget’. Penggunaan bahasa lu-gue--bahasa prokem yang diadopsi dari bahasa betawi-- telah menjadi istilah keseharian anak muda namun tidak cocok untuk membahas hal-hal yang kelewat serius. Relasi industri hiburan terhadap pola konsumsi gaya masyarakat khususnya remaja sangat dirasakan mengingat media adalah rezim gaya yang paling absah seperti yang dikatakan oleh B. Hendry Priyono, hidup adalah kopian iklan. Namun relasi tersebut tak selamanya bersifat hegemonis, namun ada ruang di mana konsumen dapat melakukan pembacaan ulang terhadap elemen pop yang menjadi acuan didaur ulang atau ditransformasikan sebagai hal yang baru lewat pemelesetan kode-kode yang ada meskipun terlihat sebagian besar konsumen kita ada konsumen pasif.
Prinsip “aku bergaya maka aku ada” adalah prinsip nomor wahid yang diamini secara massal sebagian remaja, tante-tante, ibu-ibu, dan juga bapak-bapak karena eksistensi keberadaan mereka ditentukan oleh kemampuan bersolek (ngaca). Semuanya melebur menjadi gaya hidup. Namun kemelekan budaya tidak hanya ditentukan oleh kemampuan mengetahui berbagai merek atau pola gaya yang lagi trend, namun dibutuhkan sebuah kemampuan untuk memiliki alias membeli. Tentu kemampuan yang satu ini Cuma dimiliki oleh segelintir orang, seorang remaja yang ingin menonton konser band idola seperti Peterpan tentu harus mengeluarkan sekian rupiah. Di sinilah artifak budaya pop menjadi lahan komodifikasi hatta wilaya sakral pun dapat menjadi wilayah profan seperti ‘jilbab gaul’ , ‘umrah’ dan bahkan wilayah kegaiban sebagai ruang penghayatan menjadi ruang hiburan dan bahkan lelucon. Semua ruang tersebut menjadi ‘ngepop’ kalau perlu Tuhan sekalipun di-pop-kan
Tentu fenomena ini merupakan hal yang sangat berbeda jika dibandingkan dengan puluhan tahun silam di mana revolusi gaya hidup menghampiri sudut sudut rumah tangga kita. Budaya massa selain meleburkan batas kultur kehidupan di sisi lain memberikan realitas yang dangkal dan tentu miskin penghayatan, namun tidak selamanya mereka yang terjebak pada budaya pop selalu berasosiasi pada kedangkalan berpikir, kita dapat melihat Djaenar Mahesa Ayu, Dewi Lestari mereka adalah ikon pop para remaja yang mampu melahirkan karya yang sangat dalam. Apa yang melanda para remaja saat ini tentu tidak lebih buruk dibanding prilaku para orang tua yang korup.
Penulis pun sempat membaca komentar salah seorang remaja yang ada di salah satu milis, tayangan MTV yang dianggap oleh banyak pihak negatif, menurutnya MTV lebih baik dibanding tayangan TV yang dipenuhi oleh sinetron yang irasional dan ilusif dan sebagian lagi berkomentar seperti ini: ”Sebut saja misalnya MTV juga mendukung artis atau band indy seperti Moca. Dan di satu periode saya juga pernah mengamati tayangan MTV Alert yang menayangkan musik-musik 'alternatif' yang mempunyai nuansa unik seperti nuansa India atau Timur Tengah. Maaf sebetulnya saya tidak begitu banyak pemahaman soal musik tapi yang ingin saya garis bawahi adalah MTV juga kelihatannya mencoba menjembatani kesenjangan yang berkaitan dengan isu postkolonial. Saya tidak tahu apakah ini justru another trick dagang yang menjual eksotisme Asia [sebagai bagian dari 'Timur'] - imej-imej tentang alam ke-Timur-an yang diciptakan sebagaimana menjadi isu sentral wacana orientalisme/postkolonial.
Tapi terus terang saya masih meragukan apakah kesemuanya itu harus seterusnya dipandang sebagai sesuatu yang negatif” (www.endonesia.com 2005).
Konsumtifisme gaya hidup tidak hanya melanda para remaja lewat politik gaya namun juga melanda para orang tua, korupsi besar-besaran yang melanda negeri ini adalah bagian dari keinginan (hidup) untuk mendapatkan gaya yang berbeda dari masyarakat lainnya.

***********
Pengaruh Iklan Terhadap Budaya Pop
TV menjadi fenomena yang khas dalam kehidupan saat ini, ia tidak sekedar sarana pemberi informasi namun dapat pula menjadi hiburan alternatif. Dikatakan alternatif karena untuk menjangkau relatif murah, dapat dinikmati sepanjang waktu tanpa leluasa tanpa mengeluarkan biaya.
Dalam kajian budaya TV menjadi tema sentral perdebatan dan pengkajian yang sangat dalam. Dalam teori komunikasi konvensional menganggap bahwa efek pengaruh terhadap TV akan dirasakan oleh penonton yang menikmatinya, apa yang ditampilkan oleh media akan secara lengsung diikuti oleh para penonton. Meskipun pononton tidak secara langsung mengimitasi apa yang dilihat dalam layar TV, namun efek tersebut akan mempengaruhi cara pandang dan sikap. Seseorang yang menonton info perceraian selebriti memang tidak serta merta akan menceraikan suami atau istri, namun maraknya peneyangan gosip seakan prilaku tersebut telah menjadi kelaziman dalam rumah tangga atau enjadi bagian realitas sosial bahkan meningkat menjadi trend hidup. Kemampuan pemirsa mendekodekan teks yang ada dalam TV ditentukan sejauhmana kesadaran pemirsa memahami dan menempatkan diri dengan teks yang ditampilkan TV. TV merupakan area representatif hidup karena dari sanalah penonton menemukan eksistensi diri, segala atribut kehidupan dan bagaimana kita bersikap telah tersedia pada TV ternasuk iklan sebagai ilham industrial.
Dari simplikasi diatas bukan berarti semua yang ditampilkan TV semua tidak bernilai positif, media juga telah memberikan kepada kita sumbangsi yang begitu besar namun ia hanyalah bagian yang terkecil dari kebenaran fakta realitas dan bukan sebagai rujukan sah dalam menghadapi hidup karena kehidupan tak sesimpel yang ada dalam layar TV.
Kebudayaan pop (pop culture) adalah sebagian dari produksi massa industri yang pada gilirannya membutuhkan konsumsi massa. Menurut logika sistem produksi industri, bukan hanya penawaran yang mengikuti permintaan. Tetapi volume permintaan bisa disesuaikan dengan besarnya penawaran, lebih-lebih pada teknik promosi sebagai pembujuk terselubung.
Budaya pop dan industri pencitraan (iklan) tak dipisahkan dari kalkulasi modal oleh para kapitalis, walaupun begitu budaya massa (pop) tak selamanya melulu memberikan kesadaran naif seperti yang banyak diklaim banyak pihak. Munculnya gerakan di kalangan anak muda dengan motto do it your self menjadi ikon tersendiri bagi anak muda yang mencoba mengurangi ketergantungan terhadap pasar yang kapitalistik dengan melakukan gerakan independen. Independensi ditunjukkan tidak hanya sebatas kreativitas sampai pada persoalan pendanaan hingga melahirkan karya-karya yang independen seperti musik, film dan gaya meskipun rawang untuk diinkorporasi oleh industri major label. Hegemoni yang dilakukan pasar pada konsumen lewat iklan dan sinetron dapat ditransformasikan menjadi ruang pemelesetan (differance) di mana kode diproduksi ulang sesuai dengan konteks keberadaan si pengguna.
Narasi iklan adalah suatu cara promosi barang agar calon pembeli dapat menyeleksi dan memilih sebuah barang, pada iklan konvensional cara pengiklanan ditujukan untuk memberikan penjelasan pada publik akan kualitas dan kelebihan sebuah produk. Pada tataran simbolis citra menjadi acuan utama dalam menciptakan image ke publik, untuk menentukan pilihan pada sebuah produk, konsumen tidak menentukan pilihan berdasarkan nilai guna pada sebuah barang, namun seberapa besar prestise yang didapatkan. Dengan makan di KFC, CFC atau Mcdonald tidak hanya berdasar pada mengisi kekosongan perut, namun bagaimana eksistensi diri dipertaruhkan bahwa kita bagian dari sebuah kelas sosial tertentu.
Ada beberapa pola yang sama dalam periklanan dalam mengkonstruk makna pada masyarakat:
a. Denaturalisasi
Iklan yang mencitrakan bahwa makanan olahan (instan) lebih komplik mutunya dibanding proses alami atau yang diolah secara konvensional, seperti produk suplemen penambah tenaga.
b. Inkorporasi
Mengambil elemen perlawanan untuk dijadikan ikon produk seperti ikon Che Guevara untuk maskot bir di Inggris. Gie sebagai iklan A Mild dan simbolitas multi kulturalisme pada HSBC.
c. Iklan Politik Tubuh
Menciptakan disiplinasi tubuh lewat citra yang ditampilkan dengan pemakaian berbagai produk sebagai solusi ideal dalam memposisikan diri ruang sosial, seperti pada kebanyakan iklan kecantikan dan mode pakaian.
d. Fetisisme
Menjadikan produk sebagai ukuran eksistensial, nilai guna berubah kenilai simbol dalam kehidupan, seperti pada iklan ponsel dan mobil mewah.


***********


Homogenisasi Kultural dan budaya konsumerisme
Menurut Antonio Gramsci bahwa penjajahan saat ini tidak dilakukan dengan kasat mata, pemaksaan secara fisik dan senjata akan tetapi dengan penjajahan pemikiran dimana pihak yang terjajah “menikmati” penjajahan tersebut. Menurut teori orientalisme Edward W. Said bahwa timur saat ini dikepung dari segala arah dengan pemikiran dan ekspansi budaya barat yang diperteguh oleh media, melalui bidang akademik, politik dan terlebih lagi dari segi ekonomi. Cita rasa, selera, gaya hidup, dan bahkan pemikiran masyarakat timur diubah sedemikian rupa sehingga mereka tercerabut dari akar budayanya, serta mengikuti budaya yang diimpor dari barat. Masyarakat timur dipasung agar mereka menganggap bahwa budaya dan peradaban timur terbelakang dan peradaban barat adalah peradaban yang modern yang harus diikuti.
Hal ini diperkuat oleh tercerabutnya timur dari budaya, agama, dan falsafah hidupnya. Mereka lebih cenderung untuk mencontoh dan mengikuti serta merekonstruksi tatanan ketimuran sesuai dengan pola yang kebarat-baratan. Maka tak pelak lagi dis-orientasi pembangunan peradaban timurpun terjadi karena paradigma yang digunakan tidak berbasis pada realitas. Usaha untuk membutakan masyarakat timur dari kondisi realitas yang mereka hadapi dilakukan sedemikian rupa. Di Indonesia misalnya, munculnya tayangan hiburan seperti AFI, Indonesian Idol, KDI, cantik Indonesia, dan beberapa tayangan lainnya menjelang pelaksanaan PEMILU (Pemilihan Umum), tidak lain dan tidak bukan agar masyarakat melupakan realitas kehidupan (politik, sosial, ekonomi, dll) yang sedang mereka hadapi.
Di sisi lain budaya konsumerismepun mewabah. Dalam budaya konsumerisme, Produk dibeli bukan didasarkan pada kebutuhan dan azas manfaat akan tetapi lebih pada gengsi agar disebut modern. Komoditas produksi digantikan oleh komoditas budaya dengan penonjolan simbol dan identitas modernitas. Komoditas diproduksi bukan didasarkan pada kebutuhan masyarakat akan tetapi kebutuhanlah yang diciptakan agar masyarakat merasa butuh untuk mengkonsumsi komoditas. Contoh sederhananya, makanan cepat saji produksi Amerika Mc. Donald dikonsumsi bukan berdasarkan pada azas manfaat atau kebutuhan tetapi masyarkat dipaksa untuk merasa butuh untuk mengkonsumsinya. Menurut Jean Baudriullard, bahwa budaya konsumerisme ini melahirkan apa yang disebut dengan Narsisisme yang terencana (planned narsisism). Media kemudian menjadi alat ekspansi kultural untuk mengubah pencitraan, dan pola pikir masyarakat agar menjadi masyarakat konsumeris. Homogenisasi kultural melalui media ini merupakan senjata ampuh agar peredaran dan akumulasi kapital tetap berlangsung.
Dengan memahami persoalan diatas, masih pantaskah kita disebut Negara yang merdeka secara fisik terlebih lagi secara pemikiran? Ataukah kita masih terbuai oleh romantisisme sejarah masa lampau.
Jika belum, maka jawabannya adalah revolusi sistemik dengan melakukan penyadaran kepada masyarakat dari segi pemikiran, pola perilaku, budaya, dan mencoba kembali mengarahkan mereka untuk mengenali realitas lokal. Pergerakan kultural menuju proses penyadaran dengan metode pendampingan dalam rangka meningkatkan kesadaran politik dan cultural consciousness masyarakat harus segera dilakukan.
Kultur berfikir dan paradigma masyarakat kita yang masih diselubungi oleh-meminjam istilah Paulo Freire- kesadaran magis (Magical Consciousness) dan kesadaran naïf (Naival Consciousness) harus diubah menjadi kesadaran kritis (critical consciousness). Perubahan kultur dan paradigma berfikir ini dimungkinkan jika komunitas masyarakat secara komunal mulai menggali kembali falsafah, sisi religius dan spiritualitas ketimuran seperti budaya siri’, sipakatau, dan sipakalebbi’. Maka yang harus dilakukan adalah penguatan kembali dan membangkitkan budaya lokal kita sebagai countervailing culture (budaya tanding) untuk menandingi budaya konsumerisme yang sarat akan eksploitasi hegemoni, dan ekspansi kapital.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar