.widget.ContactForm,.widget #ContactForm1{display: none !important;}
SELAMAT DATANG DI BLOG SENI RUPA UNISMUH MAKASSAR MEDIA INFORMASI DAN APRESIASI SENI BUDAYA

ARTIKEL

SPEKTRUM PARADIGMA SENI DI SULAWESI SELATAN

Oleh. Muh. Faisal, S.Pd.,M.Pd
Dosen Seni Rupa FKIP UNISMUH Makassar

Kesenian Sulawesi Selatan di kenal sebagai kebudayaan tinggi dalam konteks kekinian. Karena pada dasarnya, seni tidak hanya menyentuh aspek bentuk (morfologis), tapi lebih dari itu dia mampu memberikan konstribusi psikologis. Disamping memberikan kesadaran estetis, juga mampu melahirkan kesadaran etis. Diantara kedua nilai tersebut, tentunya tidak terlepas dari sejauhmana masyarakat kesenian (public art) mampu mengapresiasi dan menginterpretasikan makna dan simbol dari sebuah pesan yang dituangkan dalam karya seni.
Berbicara tentang estetika, seolah kita terjebak pada suatu narasi yang menghantarkan kita pada pemenuhan pelipur lara semata, misalnya: gaya hidup, hiburan dan relaksasi. Kita lupa bahwa seni merupakan variabel yang dapat membentuk kesadaran sosial sekaligus kesadaran religius masyarakat. Di Sulawesi Selatan, nilai kekhasan kesenian dapat dikatakan sebagai sebuah wasiat kebudayaan yang menggiring kita pada lokal values (kearifan). Dibutuhkan pelurusan makna seni melalui aspek keilmuan agar dia tidak terjebak dalam arus kepentingan politik dan industri semata.
Klasifikasi Masyarakat Seni
Arnold Hausser,  seorang filosof sekaligus sosiolog seni asal Jerman mengindentifikasi bahwa masyarakat seni terbagi menjadi empat golongan. Yang pertama: Budaya Masyarakat Seni Elit, yaitu masyarakat seni intelektual yang banyak memberikan konstribusi perkembangan seni dalam suatu daerah. Masyarakat seni elit inilah yang banyak memberikan literature dan kajian holistik agar perkembangan seni dapat berjalan sesuai dengan konteks keilmuan, termasuk pakar kesenian, akademisi dan kritikus seni. Kedua: Budaya Masyarakat Seni Populer, yaitu masyarakat seni intelektual yang hanya mengedepankan kepentingan subjektifitas terhadap kebutuhan estetik yang berjalan sesuai dengan konteks (zaman). Masyarakat seni ini biasanya terdapat dari golongan mapan yang dis-orientasi seni, misalnya dokter, pengusaha, dan politikus. Ketiga: Budaya Masyarakat Seni Massa. Yaitu budaya masyarakat golongan menengah kebawah, biasanya golongan ini hanya mementingkan aspek kesenangan dan mudah larut dalam perkembangan peradaban. Dia senantiasa menikmati hidangan produk-produk kesenian tanpa memikirkan dampak akibatnya terhadap masyarakat luas. Dan yang keempat: Budaya Masyarakat Seni Rakyat. Masyarakat seni ini terbentuk secara spontanitas melalui kepolosan. Golongan ini juga senantiasa mempertahankan wasiat seni para leluhurnya. Dari sinilah budaya masyarakat seni elit memperoleh referensi dan inspirasi dalam memperkaya kajian kesenian dalam aspek kebudayaan.
Kekuasaan Politik
Dari simplikasi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa indikasi dari golongan budaya masyarakat seni di Sulawesi Selatan memiliki gejala pengkalasifikasin yang sama. Sehingga muncul pertanyaan, mengapa perkembangan kesenian di Sulawesi Selatan dari dulu mengalami kesenjangan?? Khususnya yang terdapat di Lembaga Kesenian di Sulawesi Selatan. Seperti kesenjangan yang terdapat di MUSYDA Masyarakat Kesenian yang dilakukan baru-baru ini, yang hanaya dikendalikan oleh peran-peran politis yang justru mengabaikan kepentingan masyarakat kesenian. Contoh lain kesenjangan kesenian yang telah terjadi sejak dulu adalah Dewan Kesenian Sulawesi Selatan (DKSS) yang berganti menjadi Badan Kordinasi Kesenian Nasional Indonesia (BKKNI) yang mempertegas dis-orientasi berkesenian dengan hadinya kebijakan struktural. Selanjutnya kehadiran Dewan Kesenian Makassar (DKM) yang dari dulu tidak dapat bersinergi dengan Badan Kordinasi Kesenian Nasional Indonesia (BKKNI). Belum lagi sinergitas sanggar-sanggar seni pertunjukan  dan komunitas kesenian lainnya yang seolah-olah sengaja dibenturkan dalam wilayah iklim politis. Dari pengkalisifikasin masyarakat seni di atas, tentunya dapat menghantarkan kita pada dampak yang terjadi dalam kerancuan berkesenian di Sulawesi Selatan. Seperti hadirnya lembaga kesenian yang dikendalikan oleh masyarakat seni populer atau pemilik kebijakan public yang tidak linear, bukan dari masyarakat seni elit yang terkesan diabaikan karena tidak memiliki bargaining politik. Perkembangan kesenian seni Sulawesi Selatan tidak lahir dari pengkajian holistik kebudayaan dari masyarakat seni rakyat, yang justru merupakan objek dan identitas lokal Sulawesi Selatan yang harus di pertahankan. Orientasi kesenian akhir-akhir ini lebih cenderung mengarah pada komersialisasi konteks, bukan estetika psikis, mitis maupun estetika yang bersumber dari falsafah kebudayaan kita. Olehnya dibutuhkan pemetaan peran-peran berkesenian yang sesuai dengan kapasitas pelaku kesenian, agar kiblat berkesenian di Sulawesi Selatan searah dengan tujuan kolektivitas  masyarakat seni.
Seni adalah ungkapan kejujuran yang membutuhkan nilai-nilai kolektivitas. Kejujuran dalam berkesenian  adalah jalan untuk mempertahankan wasiat kebudayaan. Bisa dibayangkan jika prilaku berkesenian dibatasi oleh kebijakan politik, maka yang terjadi adalah kesembrautan (syncretism) dan kebohongan atas naluri kesenian. Seperti yang terjadi pada penyelenggaraan sayembara patung tugu Sultan Hasanuddin di gerbang Bandara Internasional Makassar dan sayembara Cinderamata Makassar yang sampai saat ini mengalami kebuntuan implementasi karena hadirnya peran-peran politis yang memperkosa nilai-nilai kreatifitas seniman. Itulah sebabnya, mulai saat ini pengklasifikasian masyarakat seni harus diluruskan sesuai dengan kapasitasnya, termasuk peran struktural lembaga kesenian yang mestinya tidak hanya di kendalikan oleh masyarakat populer apatah lagi berorientasi pada hasrat politik yang berlebihan. Wajar kemudian, dalam konteks ini, lahirlah jargon-jargon yang tidak asing lagi terdengar disetiap komunitas kesenian Sulawesi Selatan yakni jargon: ‘Politisasi Masyarakat Kesenian’
»»  Seni Rupa Red

Tidak ada komentar:

Posting Komentar