|
Makmun
Dosen Seni Rupa Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Makassar

Kata-kata Kunci :
Falsafah Hidup, Kebudayaan
Bugis-Makassar, Naskah Lontara’.
A.
Pendahuluan
SIRIK sebagai
aspek kebudayaan atau aspek antrophologi budaya Bugis-Makassar, gunamengkajinya
dan menghayatinya secara mendasar dibutuhkan pengenalan-pengenalan pada pengertianpengertian kebudayaan itu terlebih
dahulu. Yakni pengertian tentang apakah kebudayaan itu? Kebudayaan
Indonesia mengalami pengaruh - pengaruh (akulturasi) kebudayaan Hindu, kebudayaan
Islam. Karenanya maka pengetahuan dasar perihal kebudayaan perlu dihayati, sebelum
mengkaji masalah-masalah SIRIK tersebut. Istilah
kebudayaan dalam bahasa Indonesia yang biasa dipakai oleh umum dalam pembicaraan
sehari-hari mengandung pengertian mengenai bangunan-bangunan indah,
candi-candi, tarian-tarian, seni-suara, seni-rupa dan sebagainya. Tetapi
Istilah tersebut yang berasaldari bahasa
Sansekerta berarti akal, jadi dengan kebudayaan dapat diartikan segala sesuatuyang
bersangkutan dengan akal.Dalam lingkungan antrophologi, definisi kebudayaan
dirumuskan, sebagai berikut:“ Kebudayaan ialah keseluruhan dari kelakuan dan
hasil kelakuan manusia yang teratur oleh tata-kelakuan yang harus didapatnya
dengan belajar dan yang semuanya tersusundalam kehiduoan masyarakat”. Dalam Istilah Sansekerta: budaya ialah bentuk
jamak dari budhi berarti akal. Istilahkebudayaan
sama defenisinya dengan istilah Inggris : Culture. Tapi,Inggris:
Civilzation(Indonesia, Peradaban) merupakan bagian-bagian dari kebudayaan yang
halus dan indahserta maju, seperti kesenian,ilmu,dan sebagainya.
B. Falsafah Hidup Bugis-Makassar
Diuraikan dalam naskah Lontara (catatan
yang ditulis diatas daun lontar) yang kemudian di wariskan kepada generasi ke lain generasi dalam lingkungan
masyarakat suku Bugis-Makassar, bahwa
watak atau falsafah hidup orang-orang Bugis-Makassar itu, tergambar sebagai
berikut:
- Jangan dipermalukan dia, sebab dia akan pi-lih lebih baik mati darp padadipermalukan (Aja mupakasiriwi, materi-tu”).
- Jangan kecewakan dia, sebab apabila dikecewakan pasti meninggalkan anda (“Ajamullebbaiwi, nabokoiko-tu”). Hal ini ada kaitannya dengan prinsip falsafah orang-orang Bugis-Makassar, antara lain:
“ Ia mua narisappa warangparangE, nasaba rialai
pallawasirik. Narekko sirik Ba’na Lao,sungenatu
naranreng”
Artinya :
Sesungguhnya
harta banda sengaja dicari dan disediakanuntukmenutup malu. Jika kita
dipermalukan, maka harta tak ada ginanya lagi, tetapi yangakan bicara ialah
manyat nyata.
Hal ini
diperjelas lagi oleh seorang wanita Bugis bila iadikecewakan suaminya:
“Tinulu melle kuranang banteng patilla pinceng nabetaE
Lebbu”
Artinya :
kecintaanku yang tulus ikhlas kepadamu, bagaikan banteng yang kuat kokoh,namun ia dapat dirobohkan oleh rasa kecewa yang timbul.
Seperti juga ungkapan peribahasa Bugis:
“Sengeremmu pada bulu, lebba mutaroE, ruttungeng manenggi”
Artinya: Kesan
kenanganmu menjulang tinggi laksana
gunung, namun rata juga karena kecewa yang timbul.
Jadi, proses
kepribadian yang menjiwai orang Bugis-Makassar, yakni:
Jangandipermalukan, karena ia lebih baik mati
dari pada dipermalukan; kedua, jangan sampai iadihina; ketiga, apabila sudah
dikecewakan maka ia pasti meninggalkan anda. Dengan cirri-ciri pegangan hidup
seperti: Harta benda diusahakan
memperolehnya, tetapi kalau perludisediakan untuk menutup malu. Kalau sudah
dipermalukan, harta tak ada gunanya lagi danuntuk
itu ia bersedia mati.
|
“duai temmallaiseng, tellui temmasarang”
Artinya: Dua
bahagian yang tak terpisahkan dan tiga bahagian
yang tidak terceraikan). Falsafah untuk
segala bentuk yang menyangkut manusia (yang dianggap merupakansuatu
bentuk dalam jagad tiga wujud yang tunggal ) dengan jagad raya, terbagi pula
atas tiga bahagian :
“Botting langi” ( artinya : sumber segala yang mulia)
yang mulia dalamkebenaran.
“ Alekawa”
(artinya:permukaan bumi, dimana hidup berbagai mahluk dengasegala perjuangan hidup, penguasaan dan
lain-lain) yang suci sebagai perlambang.
“Putih”,dan perlambang merah (api) yakni
“Ale” ( artinya badan),
“Kawa” ( artinya :
yang dapat dicapai)).
Pertiwi, berarti di bawah tanah pertiwi (Bugis),
melambangkan keabadian, lesabaran, yaitu sifat manusia itu
sendiri. Perlambangnya hitam. Pemerintahan
kerajaan-kerajaan dahulu terbagi atas tiga bahagian, yaitu:
- Raja Sombaya (yang disembah)
- Tomarilaleng(yang mewakili raja berbicara)
- Tomarilaleng Lolo (yang mewakili rakyat dalam pembicaraan yang merupakan perantara rakyat dengan raja).
Pada waktu itu
(pada zamannya) ada tiga raja besar di Sulawesi selatan ini, yakni:TellumpoccoE (Luwu, bergelar peyung atau pajung); Makassar
a9Gowa) bergelar Somba dan Bone bergelar Mangkau. Demikian juga rumah adat Bugis-Makassar terdiri atas (serba tiga):
Kolong rumah(tempat penenun, menyimpan kayu bakar, dan lain-lain). living space
(“Watampola”) dan bagian loteng untuk menyimpan barang-barang persediaan
padi dan lain-lain yang disebut“Rakkeyang” atau Rangkiang” (Mel).
Adapun ruangan
terbagi atas : Tempat tunggu tamu-tamu
desebut “Lontang Risaliweng”, bagian tengah terdiri dari ruangan-ruangan tidur
untuk orang tua disebut Lontang Ritengnga. Ruangan belakang berdekatan
dengan kamar orang tua,ruangan khusus untuk
anak gadis disebut Lontang Rilaleng. Disamping ruangan tidur ada ruangan
terbuka dari depan menuju ke dapur disebut “Tamping”. Anak-anak laki-laki yang sudah
menginjak masa dewasa biasanya tidur di luar rumah atau ditempat lain. Sebagaimana fungsi angka tiga (yang punya arti
keramat), empat dan delapan juga punya arti. Demikian, tiang-tiang “Alliri” rumah adat Bugis-Makassar
bentuknya bersegi empat atau bersegi delapan. Tiang bersegi empat
berdiri di tengah-tengah disebut “Posi
Bola” (soko guru). Dengan tiang soko-guru ini menjadi pertanda (perlambang)
bahwa laki-laki hendaklah bersegi empat (melebihi
tiga), atau laki-laki yang serba bisa atau “WoroanE
sulapa eppa”. Untuk dapatmenjelajahi delapan penjuru angin. Segi
delapan menggambarkan delapan penjuru angin atau semesta, melambangkan bahwa
lelaki orang Bugis-Makassar harus berani bertarung melawan tantangan hidup.
Harus berani melawan tantangan dalam bentuk apapun guna kelangsungan hidupnya
dan masyarakatnya. Rumah-rumah sekarang
bukan lagi merupakan rumah adat oleh karena tiang-tiangnya biasa
saja, pada umumnya bersegi empat. Dibekali
dengan falsafah inilah, nenek moyang Bugis-Makassar berhasil dan menjadi berjiwa
pelaut yang berlayar ke segala penjuru. Falsafah ini pula yang dijadikan ajimat
untuk berani bertarung demi
kehormatannya. Termasuk manifestasi pengertian SIRIK yang dalam istilah Bugis disebut “sirik naranreng”, artinya : tegakkan
kehormatan, bila perlu nyawa dipertaruhkan. Falsafah
“duai temmalaiseng, tellui temmasarang”,
berarti: Tuhan, Nabi Muhammad, manusia sebagai hamba Allah yang tidak
terpisahkan antara satu dan yang lainnya. Begitu juga badaniah dan
batiniah tidak terpisahkan. Hikmah yang
dapat kita ambil dari keseluruhan isi yang terurai tersebut diatas,
ialahkekuatan batin atau prinsip hidup yang dapat diresapi atau ditarik dari
hikmah pengertian “duai
temmalaiseng, tellui temmasarang” tersebut.
C.
“ SIRIK ”
Manakala kita ingin mendalami
pengertian
SIRIK dengan segenap masalahnya
antara lain dapat diketahui dari buku LA TOA. Buku ini berisi
pesan-pesan dan nasehat-nasehatyang merupakan kumpulan petuah untuk dijadikan
suri teladan.Buku LA TOA artinya: YANG TUA. Tetapi, arti sebenarnya ialah PETUAH- PETUAH, berisis sekitar seribu jenis petuah-petuah. Hampir
semua isi LA TOA ini erathubungannya
dengan peranan SIRIK dalam pola hidup
atau adat istiadat Bugis-Makassar (merupakan falsafah hidup). Misalnya:
SIRIK sebagai
harga diri atau kehormatan ’MAPPAKASIRI’ artinya: dinodai kehormatannya. RITAROANG SIRIK artinya: ditegakkan kehormatannya. PASSAMPO SIRIK artinya: penutup malu, TOMASIRI’NA
artinya : keluarga pihak yang dinodai kehormatannya. dan SIRIK sebagai
perwujudan sikap tegas demi kehormatan tersebut.
SIRIK dapat juga diartikan sebagai pernyataan sikap serakah (Mangowa) dan SIRIK sebagai prinsip hidup (pendirian) di daerah Bugis-Makassar.
Sirik Naranreng dipertarukan demi
kehormatan,Sirik-Sirik (malu-malu), Palaloi Siriknu (tentang
yang melawan), Passirikkia (bela kehormatan saya), Napakasirikka (saya
dipermalukan), Tau de’ Sirikna (orang tak ada malu, tak ada harga diri). Bahkan berbagai petuah-petuah yang kesemuanya
tergambarkan pada buku La Toa sebagai buku yang bernilai sastra disusun oleh pujangga Bugis pada
zamannya.
|
Silariang (minggat) adalah sekedar salah satu aspek Sirik yang erat
hubungannya dengan harga diri dalam arti yang luas. Jadi Sirik mengandung pula penilaian kehormatan atau “priode
kebanggaan”. Identitas suku bangsa dalam kerangka ke-NASIONAL-an
yang Bhineka Tunggal Ika. Manifestasi dari pada prinsip-prinsip
penghayatan Pancasila. Misalnya ungkapan –
ungkapan sikap orang-orang Bugis yang termanifestasikan lewat kata-kata:
Taro Ada’ Taro Gau (satunya kata dan perbuatan). Yakni,
setiap tekad atau cita-cita ataupun
janji yang telah diucapkannya, pasti dipenuhinya (dibuktikannya) dalam perbuatan nyata. Sejalan pula
dengan prinsip Abattirengripolipukku (asal
usulleluhur senantiasa dijunjung tinggi,
segalanya kuabadikan demi keagungan leluhurku). Ataudengan terjemahan bebas: segalanya(jiwa-ragaku)
kuabadikan demi untuk ibu pertiwi/bangsa dan negaraku.
D. Lontara Sebagai Sumber Bahan Pengalian Sejarah Bugis-Makassar
Guna mengetahui lebih mendalam
perihal Sirik dan Aspek-aspeknya pada
umumnya digali melalui LONTARA yang ditulis dengan menggunakan AKSARA LONTARA
(tulisan aksara suku Bugis-Makassar). Dari buku LONTARA inilah sedikit demi sedikit dapatlah digali
nilai-nilai budaya dankisah sejarah tentang
kebudayaan Bugis-Makassar dan segala falsafah-falsafah hidup serta sikap
mentalnya. Melalui buku-buku LONTARA telah
diungkapkan asalmula kerajaan di Sulawesi
Selatan. Naskah LONTARA pada umumnya telah diangkut oleh Pemerintah Hindia Belanda
ke negerinya.
Sebagai contoh
riwayat asal mula kerajaan Luwu (yangdianggap sebagai sumber raja-raja orang Bugis ), diketemukan
dalam buku LONTARA“LAGALIGO”. Adapun kisah berdirinya kerajaan Luwu, diriwayatkan pada buku kesusteraan
yang berbentuk “epos”.
Dikisahkan sebagai berasal dari kayangan yang berjudul “LAGALIGO”.
Terdiri dari dua puluh tiga jilid, dengan satu juta suku kata dan merukan buku sastera
jenis “epos” yang terpanjang di dunia pada zaman itu. Kini buku LAGALIGO ada di perpustakaan Negeri Belanda di Leiden. Pada
waktu Belanda berkuasa, semua buku-buku termaksud buku Lontara diangkat ke
negeri Belanda sebagai pelengkap kekayaan perpustakaannya . LAGALIGO ialah putera Sawerigading dengan
perkawinannya dengan WECUDAI. Sawerigading
yang menurut Legenda dikisahkan berasal dari Kayangan (TOMANURUNG putera
Batara Guru) menurut istilah Bugis.Yang kemudian menjadi asal usul secara
turun-temurun raja-raja Luwu di SulawesiSelatan. Semasa hidupnya
LAGALIGO terkenal sebagai pujangga yang tak ada bandingannya dikawasan Nusantara pada waktu jayanya. Salah satu
ciri khas buku LAGALIGO untuk membuktikan asli tidaknya ialah huruf ”H”
tidak ada pada buku asli I LAGALIGO
tersebut. Apabila ada huruf “H” jelas buku itu palsu. Buku LAGALIGO terdiri dari 23 jilid.
E.
Asal Mula Aksara LONTARA
Menurut kelahirannya, aksara LONTARA
ditulis mula-mula ia tidaklah diketahui
terbuat dari bentuk apa. Yang diberi judul : Lontara Mamulange (lontara pertama kali tercipta). Kemudian menurut cerita, timbul Lontara terbuat
dari bahan Gemme (salon pohon lontar),
Lontara Lepo (upih pinang). Kemudian
lahir lagi lontara terbuat dari jenis “DaunTa”
(daun pohon lontara) kemudian Lontara tersebut terbuat dari bahan kapas.
Dan,terakhir lahirlah Lontara seperti yang terdapat sekarang ini. Lontara-lontara itu masih ada di kalangan
orang-orang tua di Sulawesi Selatan.Tetapi, dengan syarat-syarat ditentukan
oleh yang menyimpannya (pemiliknya). Untuk membolehkan membacanya: harus
dipotong ayam, dalam rangkaian selamatan tersebut. Itulah sebabnya, Lontara perlu digali kembali untuk pembinaan dalam rangka
kebudayaan Nasional: Bhineka
Tunggal Ika. Seperti apa yang teruraikan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN) halaman16 (Perihal Kebudayaan Nasional), sebagai berikut:
1. Meningkatkan usaha pembinaan dan pemeliharaan kebudayaan nasional untuk memperkuat kepribadiaan bangsa, kebanggaan dan kesatuaan nasional,
termaksud menggali dan memupuk kebudayaan daerah sebagai unsur-unsur penting dan memperkaya
dan member corak kepada kebudayaan nasional.
2.
Membina dan
memelihara tradisi-tradisi serta peninggalan sejarah yang mempunyai nilai-nilai perjuangan dan kebanggaan serta kemanfaatan
nasional untuk diwariskan ke generasi muda.
3.
Pembinaan
kebudayaan nasional harus sesuai dengan norma - norma Pancasila. Disamping itu ditujukan untuk mencegah timbulnya nilai-nilai
sosial budaya yang bersifat feodal, juga
ditujukan untuk menanggulangi pengaruh kebudayaan asing yang negatif
serta dilain pihak cukup memberikan kemampuan masyarakat untuk menyerap nilai-nilai dari luar yang positif dan
yang memang diperlukanbagi pembaharuan dalam proses pembangunan selama
tidak bertentangan dengan kepribadian bangsa.
Aksara Lontara diciptakan oleh seorang
lelaki bernama Daeng Pamatte, berasal dari Lakiung (Kabupaten gowa) Sulawesi Selatan.
Kira-kira pada abad ke- XV–XVI.Kemudian oleh
orang-orang Bugis ditambah dengan huruf (aksara) Mpa, Nre, Ngke. Karena dalam dialog suara-suara Ne, Ngke dan
Mpa tak ada dalam bahasa Makassar. Dalam perwujudan, berbentuk: kasar kemudian halus. Melambangkan, bahwa
orang-orang Bugis-Makassar
itu,bersikap realistis,terus terang. Namun halus budi bahasanya, berwatak halus lemah lembut. Namun apabila
disinggung kehormatannya (Sirik), maka
timbullah kekerasannya. Pengertian kasar-halus di sini melambangkan, bahwa
orang-orang Bugis-Makassar labih banyak mau memberi, dari pada menerimanya.
Berbudi dan ramah-tamah. Asal mula huruf Lontara berbentuk
Belah-Ketupat, kemudian dipecah-pecahkan dalam bentuk lingkaran beleh
ketupat tersebut menjadi huruf-huruf aksara yang berjumlah 19 buah itu. Zaman dahulu kue-kue hidangan untuk
raja-raja/orang ialah berbentuk belah ketupat.Kesemuanya melambangkan, perangai perwatakan orang-orang Bugis-Makassar
yang berbudi luhur, namun dalam
mempertahankan harga diri yang disinggung (dinodai
) ia akan tidak akan pernah mengenal menyerah. Aksara
Lontara merupakan suatu pertanda bahwa masyarakat Bugis-makassar mencapai
taraf kebudayaan yang maju, sejalan dengan suku lain di Indonesia. Apabila hal
itu ditinjau dari segi ilmu, aksara lontara merupakan perkembangan yang maju. Aksara lontara dapat digunakan untuk memindahkan
pendapat/ide secara luas, baik pendapat atau ide yang
bersumberkan dari pemerintah/penguasa ataupun cendikiawan Bugis-Makassar pada
waktu itu atau merupakan pencerminan tingkat peradaban yang maju dari
suku bangsa pemiliknya.
Cat:
(Tulisan ini telah diterbikan oleh Jurnal Harmoni Pendidikan Seni Rupa FKIP Unismuh Makassar)
Waoww mantap Bro... Ternyata akhirnya Bro sekarang jadi penulis ya....Ow iya Bro Makmun.. mana rambut panjangnya yang dulu hehehehe.. Tabe, e kessipaha nareko di lampirkan daftar rujukan_nya Bro...heheheh
BalasHapusHORMATKU
Akhry Nuddin
akhry.oghye@gmail.com
mantapz... ternyata amunk skrng jdi penulis,. salam untuk angkt 94 UNM mks
BalasHapusYang mana tua Daeng Pamatte dengan Lagaligo dan Sarewigading..?? Karena setahu saya Karya Buku Epos Lagaligo ditulis memakai Aksara Lontara.. dan Keberadaan Lagaligo jauh ada sebelum Daeng Pamatte lahir..
BalasHapus