.widget.ContactForm,.widget #ContactForm1{display: none !important;}
SELAMAT DATANG DI BLOG SENI RUPA UNISMUH MAKASSAR MEDIA INFORMASI DAN APRESIASI SENI BUDAYA

Rabu, 18 Juli 2012

FALSAFAH HIDUP ORANG BUGIS-MAKASSAR



 

Makmun
Dosen Seni Rupa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Makassar

Abstrak: Aksara Lontara diciptakan oleh seorang lelaki bernama Daeng Pamatte, berasal dari Lakiung (Kabupaten gowa) Sulawesi Selatan. Kira-kira pada abad ke- XV–XVI.Kemudian oleh orang-orang Bugis ditambah dengan huruf (aksara) Mpa, Nre, Ngke. Karena dalam dialog suara-suara Ne, Ngke dan Mpa tak ada dalam bahasa Makassar. Dalam perwujudan, berbentuk: kasar kemudian halus. Melambangkan, bahwa orang-orang Bugis-Makassar itu,bersikap realistis,terus terang. Namun halus budi bahasanya, berwatak halus lemah lembut. Namun apabila disinggung kehormatannya (Sirik), maka timbullah kekerasannya. Pengertian kasar-halus di sini melambangkan, bahwa orang-orang Bugis-Makassar labih banyak mau memberi, dari pada menerimanya. Berbudi dan ramah-tamah. Asal mula huruf Lontara berbentuk Belah-Ketupat, kemudian dipecah-pecahkan dalam bentuk lingkaran beleh ketupat tersebut menjadi huruf-huruf aksara yang berjumlah 19 buah itu. Zaman dahulu kue-kue hidangan untuk raja-raja/orang ialah berbentuk belah ketupat.Kesemuanya melambangkan, perangai perwatakan orang-orang Bugis-Makassar yang berbudi luhur, namun dalam mempertahankan harga diri yang disinggung (dinodai ) ia akan tidak akan pernah mengenal  menyerah. Aksara Lontara merupakan suatu pertanda bahwa masyarakat Bugis-makassar mencapai taraf kebudayaan yang maju, sejalan dengan suku lain di Indonesia. Apabila hal itu ditinjau dari segi ilmu, aksara lontara merupakan perkembangan yang maju. Aksara lontara dapat digunakan untuk memindahkan pendapat/ide secara luas, baik  pendapat atau ide yang bersumberkan dari pemerintah/penguasa ataupun cendikiawan Bugis-Makassar pada waktu itu atau merupakan pencerminan tingkat peradaban yang maju dari suku bangsa pemiliknya.
Kata-kata Kunci : Falsafah Hidup, Kebudayaan Bugis-Makassar, Naskah Lontara’.



A.    Pendahuluan
SIRIK sebagai aspek kebudayaan atau aspek antrophologi budaya Bugis-Makassar, gunamengkajinya dan menghayatinya secara mendasar dibutuhkan pengenalan-pengenalan pada pengertianpengertian kebudayaan itu terlebih dahulu. Yakni pengertian tentang apakah kebudayaan itu?  Kebudayaan Indonesia mengalami pengaruh - pengaruh (akulturasi) kebudayaan Hindu, kebudayaan Islam. Karenanya maka pengetahuan dasar perihal kebudayaan perlu dihayati, sebelum mengkaji masalah-masalah  SIRIK  tersebut. Istilah kebudayaan dalam bahasa Indonesia yang biasa dipakai oleh umum dalam pembicaraan sehari-hari mengandung pengertian mengenai bangunan-bangunan indah, candi-candi, tarian-tarian, seni-suara, seni-rupa dan sebagainya. Tetapi Istilah tersebut yang berasaldari bahasa Sansekerta berarti akal, jadi dengan kebudayaan dapat diartikan segala sesuatuyang bersangkutan dengan akal.Dalam lingkungan antrophologi, definisi kebudayaan dirumuskan, sebagai berikut:“ Kebudayaan ialah keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang teratur oleh tata-kelakuan yang harus didapatnya dengan belajar dan yang semuanya tersusundalam kehiduoan masyarakat”. Dalam Istilah Sansekerta: budaya ialah bentuk jamak dari budhi berarti akal. Istilahkebudayaan sama defenisinya dengan istilah Inggris : Culture. Tapi,Inggris: Civilzation(Indonesia, Peradaban) merupakan bagian-bagian dari kebudayaan yang halus dan indahserta maju, seperti kesenian,ilmu,dan sebagainya.
B. Falsafah Hidup Bugis-Makassar
Diuraikan dalam naskah Lontara (catatan yang ditulis diatas daun lontar) yang kemudian di wariskan kepada generasi ke lain generasi dalam lingkungan masyarakat suku Bugis-Makassar, bahwa watak atau falsafah hidup orang-orang Bugis-Makassar itu, tergambar sebagai berikut:
  1. Jangan dipermalukan dia, sebab dia akan pi-lih lebih baik mati darp padadipermalukan (Aja mupakasiriwi, materi-tu”).
  2. Jangan kecewakan dia, sebab apabila dikecewakan pasti meninggalkan anda (“Ajamullebbaiwi, nabokoiko-tu”). Hal ini ada kaitannya dengan prinsip falsafah orang-orang Bugis-Makassar, antara lain:
“ Ia mua narisappa warangparangE, nasaba rialai pallawasirik. Narekko sirik Ba’na Lao,sungenatu naranreng”

Artinya :
Sesungguhnya harta banda sengaja dicari dan disediakanuntukmenutup malu. Jika kita dipermalukan, maka harta tak ada ginanya lagi, tetapi yangakan bicara ialah manyat nyata.
Hal ini diperjelas lagi oleh seorang wanita Bugis bila iadikecewakan suaminya:
“Tinulu melle kuranang banteng patilla pinceng nabetaE Lebbu”
Artinya : kecintaanku yang tulus ikhlas kepadamu, bagaikan banteng yang kuat kokoh,namun ia dapat dirobohkan oleh rasa kecewa yang timbul.
Seperti juga ungkapan peribahasa Bugis:
“Sengeremmu pada bulu, lebba mutaroE, ruttungeng manenggi
Artinya: Kesan kenanganmu menjulang tinggi laksana gunung, namun rata juga karena kecewa yang timbul.
Jadi, proses kepribadian yang menjiwai orang Bugis-Makassar, yakni:
Jangandipermalukan, karena ia lebih baik mati dari pada dipermalukan; kedua, jangan sampai iadihina; ketiga, apabila sudah dikecewakan maka ia pasti meninggalkan anda. Dengan cirri-ciri pegangan hidup seperti:  Harta benda diusahakan memperolehnya, tetapi kalau perludisediakan untuk menutup malu. Kalau sudah dipermalukan, harta tak ada gunanya lagi danuntuk itu ia bersedia mati.

 
Falsafah / Pedoman Hidup setiap laki-laki keturunan Bugis-Makassar harus berani, pantang menyerah menghadapi lawan maupun tantangan perjuangan hidup. Tabah dalam menghadapi setiap cobaan-cobaanyang melanda. Itulah sebabnya, maka setiap orang Bugis-Makassar berorientasi ke arahdelapan penjuru (peregi), yakni : mampu menghadapi apapun. Dasar falsafah hidup yang menjiwai dan menjadi pegangan orang-orang Bugis-Makassar untuk menjadi pelaut, yakni harus mampu mengarungi lautan sampai di kepulauan Madagaskar. Seperti Ammana Gappa (tokoh pelaut pada zamannya ) yang memiliki dinamika juang hidup ulet, serta mampu melawan tantangan yang dihadapinya.Hakekat prinsip tersebut bersumber pada leluhur nenek moyang orang Bugis-Makassar yang tersimpul dengan:
duai temmallaiseng, tellui temmasarang
Artinya: Dua bahagian yang tak terpisahkan dan tiga bahagian yang tidak terceraikan). Falsafah untuk segala bentuk yang menyangkut manusia (yang dianggap merupakansuatu bentuk dalam jagad tiga wujud yang tunggal ) dengan jagad raya, terbagi pula atas tiga bahagian :
“Botting langi” ( artinya : sumber segala yang mulia) yang mulia dalamkebenaran.
 Alekawa (artinya:permukaan bumi, dimana hidup berbagai mahluk dengasegala perjuangan hidup, penguasaan dan lain-lain) yang suci sebagai perlambang.
“Putih”,dan perlambang merah (api) yakni
“Ale ( artinya badan),
Kawa ( artinya : yang dapat dicapai)).
Pertiwi, berarti di bawah tanah pertiwi (Bugis), melambangkan keabadian, lesabaran, yaitu sifat manusia itu sendiri.  Perlambangnya hitam. Pemerintahan kerajaan-kerajaan dahulu terbagi atas tiga bahagian, yaitu:
  1. Raja Sombaya (yang disembah)
  2. Tomarilaleng(yang mewakili raja berbicara)
  3. Tomarilaleng Lolo (yang mewakili rakyat dalam pembicaraan yang merupakan  perantara rakyat dengan raja).
Pada waktu itu (pada zamannya) ada tiga raja besar di Sulawesi selatan ini, yakni:TellumpoccoE (Luwu, bergelar peyung atau pajung); Makassar a9Gowa) bergelar Somba dan Bone bergelar Mangkau. Demikian juga rumah adat Bugis-Makassar terdiri atas (serba tiga): Kolong rumah(tempat penenun, menyimpan kayu bakar, dan lain-lain). living space (“Watampola”) dan bagian loteng untuk menyimpan barang-barang persediaan padi dan lain-lain yang disebut“Rakkeyang” atau Rangkiang” (Mel).
Adapun ruangan terbagi atas : Tempat tunggu tamu-tamu desebut “Lontang Risaliweng”, bagian tengah terdiri dari ruangan-ruangan tidur untuk orang tua disebut Lontang Ritengnga. Ruangan belakang berdekatan dengan kamar orang tua,ruangan khusus untuk anak gadis disebut Lontang Rilaleng. Disamping ruangan tidur ada ruangan terbuka dari depan menuju ke dapur disebut “Tamping”. Anak-anak laki-laki yang sudah menginjak masa dewasa biasanya tidur di luar rumah atau ditempat lain. Sebagaimana fungsi angka tiga (yang punya arti keramat), empat dan delapan juga punya arti. Demikian, tiang-tiang “Alliri” rumah adat Bugis-Makassar bentuknya bersegi empat atau bersegi delapan. Tiang bersegi empat berdiri di tengah-tengah disebut “Posi Bola” (soko guru). Dengan tiang soko-guru ini menjadi pertanda (perlambang) bahwa laki-laki hendaklah bersegi empat (melebihi tiga), atau laki-laki yang serba bisa atau “WoroanE sulapa eppa”. Untuk dapatmenjelajahi delapan penjuru angin. Segi delapan menggambarkan delapan penjuru angin atau semesta, melambangkan bahwa lelaki orang Bugis-Makassar harus berani bertarung melawan tantangan hidup. Harus berani melawan tantangan dalam bentuk apapun guna kelangsungan hidupnya dan masyarakatnya. Rumah-rumah sekarang bukan lagi merupakan rumah adat oleh karena tiang-tiangnya biasa saja, pada umumnya bersegi empat. Dibekali dengan falsafah inilah, nenek moyang Bugis-Makassar berhasil dan menjadi berjiwa pelaut yang berlayar ke segala penjuru. Falsafah ini pula yang dijadikan ajimat untuk  berani bertarung demi kehormatannya. Termasuk manifestasi pengertian SIRIK yang dalam istilah Bugis disebut “sirik naranreng”, artinya : tegakkan kehormatan, bila perlu nyawa dipertaruhkan. Falsafah “duai temmalaiseng, tellui temmasarang”, berarti: Tuhan, Nabi Muhammad, manusia sebagai hamba Allah yang tidak terpisahkan antara satu dan yang lainnya. Begitu juga badaniah dan batiniah tidak terpisahkan. Hikmah yang dapat kita ambil dari keseluruhan isi yang terurai tersebut diatas, ialahkekuatan batin atau prinsip hidup yang dapat diresapi atau ditarik dari hikmah pengertian “duai temmalaiseng, tellui temmasarang” tersebut.

C.  “ SIRIK ”
Manakala kita ingin mendalami pengertian
SIRIK dengan segenap masalahnya antara lain dapat diketahui dari buku LA TOA. Buku ini berisi pesan-pesan dan nasehat-nasehatyang merupakan kumpulan petuah untuk dijadikan suri teladan.Buku LA TOA artinya:  YANG TUA. Tetapi, arti sebenarnya ialah  PETUAH- PETUAH, berisis sekitar seribu jenis petuah-petuah. Hampir semua isi LA TOA ini erathubungannya dengan peranan SIRIK dalam pola hidup atau adat istiadat Bugis-Makassar (merupakan falsafah hidup). Misalnya:

SIRIK sebagai harga diri atau kehormatan ’MAPPAKASIRI’ artinya: dinodai kehormatannya. RITAROANG SIRIK artinya: ditegakkan kehormatannya. PASSAMPO SIRIK artinya: penutup malu, TOMASIRI’NA artinya : keluarga pihak yang dinodai kehormatannya. dan SIRIK sebagai perwujudan sikap tegas demi kehormatan tersebut.
SIRIK dapat juga diartikan sebagai pernyataan sikap serakah (Mangowa) dan SIRIK sebagai prinsip hidup (pendirian) di daerah Bugis-Makassar.
Sirik  Naranreng dipertarukan demi kehormatan,Sirik-Sirik (malu-malu), Palaloi Siriknu  (tentang yang melawan), Passirikkia (bela kehormatan saya), Napakasirikka (saya dipermalukan), Tau de’ Sirikna (orang tak ada malu, tak ada harga diri). Bahkan berbagai petuah-petuah yang kesemuanya tergambarkan pada buku La Toa sebagai buku yang bernilai sastra disusun oleh pujangga Bugis pada zamannya.

 
Dapat disimpulkan bahwa:
Silariang (minggat) adalah sekedar salah satu aspek Sirik  yang erat hubungannya dengan harga diri dalam arti yang luas. Jadi Sirik mengandung pula penilaian kehormatan atau “priode kebanggaan”. Identitas suku bangsa dalam kerangka ke-NASIONAL-an yang Bhineka Tunggal Ika. Manifestasi dari pada prinsip-prinsip penghayatan Pancasila. Misalnya ungkapan – ungkapan sikap orang-orang Bugis yang termanifestasikan lewat kata-kata:
Taro Ada’ Taro Gau (satunya kata dan perbuatan). Yakni, setiap tekad atau cita-cita ataupun janji yang telah diucapkannya, pasti dipenuhinya (dibuktikannya) dalam perbuatan nyata. Sejalan pula dengan prinsip Abattirengripolipukku (asal usulleluhur senantiasa dijunjung tinggi, segalanya kuabadikan demi keagungan leluhurku).  Ataudengan terjemahan bebas: segalanya(jiwa-ragaku) kuabadikan demi untuk ibu pertiwi/bangsa dan negaraku.
D. Lontara Sebagai Sumber Bahan Pengalian Sejarah Bugis-Makassar
Guna mengetahui lebih mendalam perihal Sirik dan Aspek-aspeknya pada umumnya digali melalui LONTARA yang ditulis dengan menggunakan AKSARA LONTARA (tulisan aksara suku Bugis-Makassar). Dari buku LONTARA  inilah sedikit demi sedikit dapatlah digali nilai-nilai budaya dankisah sejarah tentang kebudayaan Bugis-Makassar dan segala falsafah-falsafah hidup serta sikap mentalnya.  Melalui buku-buku LONTARA telah diungkapkan asalmula kerajaan di Sulawesi Selatan. Naskah LONTARA pada umumnya telah diangkut oleh Pemerintah Hindia Belanda ke negerinya.
Sebagai contoh riwayat asal mula kerajaan Luwu (yangdianggap sebagai sumber raja-raja orang Bugis ), diketemukan dalam buku LONTARA“LAGALIGO”. Adapun kisah berdirinya kerajaan Luwu, diriwayatkan pada buku kesusteraan yang berbentuk “epos”. Dikisahkan sebagai berasal dari kayangan yang berjudul “LAGALIGO”. Terdiri dari dua puluh tiga jilid, dengan satu juta suku kata dan merukan buku sastera jenis “epos” yang terpanjang di dunia pada zaman itu. Kini buku LAGALIGO ada di perpustakaan Negeri Belanda di Leiden. Pada waktu Belanda berkuasa, semua buku-buku termaksud buku Lontara diangkat ke negeri Belanda sebagai pelengkap kekayaan perpustakaannya . LAGALIGO ialah putera Sawerigading dengan perkawinannya dengan WECUDAI. Sawerigading yang menurut Legenda dikisahkan berasal dari Kayangan (TOMANURUNG putera Batara Guru)  menurut istilah Bugis.Yang kemudian menjadi asal usul secara turun-temurun raja-raja Luwu di SulawesiSelatan. Semasa hidupnya LAGALIGO terkenal sebagai pujangga yang tak ada bandingannya dikawasan Nusantara pada waktu jayanya. Salah satu ciri khas buku LAGALIGO untuk membuktikan asli tidaknya ialah huruf  ”H”  tidak ada pada buku asli I LAGALIGO tersebut. Apabila ada huruf “H” jelas buku itu palsu. Buku LAGALIGO  terdiri dari 23 jilid.
E. Asal Mula Aksara LONTARA
Menurut kelahirannya, aksara LONTARA ditulis mula-mula ia tidaklah diketahui terbuat dari bentuk apa. Yang diberi judul : Lontara Mamulange (lontara pertama kali tercipta). Kemudian menurut cerita, timbul Lontara terbuat dari bahan Gemme (salon pohon lontar), Lontara Lepo (upih pinang). Kemudian lahir lagi lontara terbuat dari jenis “DaunTa” (daun pohon lontara) kemudian Lontara tersebut terbuat dari bahan kapas. Dan,terakhir lahirlah Lontara seperti yang terdapat sekarang ini. Lontara-lontara itu masih ada di kalangan orang-orang tua di Sulawesi Selatan.Tetapi, dengan syarat-syarat ditentukan oleh yang menyimpannya (pemiliknya). Untuk membolehkan membacanya: harus dipotong ayam, dalam rangkaian selamatan tersebut. Itulah sebabnya, Lontara perlu digali kembali untuk pembinaan dalam rangka kebudayaan Nasional:  Bhineka Tunggal Ika. Seperti apa yang teruraikan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) halaman16 (Perihal Kebudayaan Nasional), sebagai berikut:

1.      Meningkatkan usaha pembinaan dan pemeliharaan kebudayaan nasional untuk memperkuat kepribadiaan bangsa, kebanggaan dan kesatuaan nasional, termaksud menggali dan memupuk kebudayaan daerah sebagai unsur-unsur penting dan memperkaya dan member corak kepada kebudayaan nasional.
2.      Membina dan memelihara tradisi-tradisi serta peninggalan sejarah yang mempunyai nilai-nilai perjuangan dan kebanggaan serta kemanfaatan nasional untuk diwariskan ke generasi muda.
3.      Pembinaan kebudayaan nasional harus sesuai dengan norma - norma Pancasila. Disamping itu ditujukan untuk mencegah timbulnya nilai-nilai sosial budaya yang  bersifat feodal, juga ditujukan untuk menanggulangi pengaruh kebudayaan asing yang negatif serta dilain pihak cukup memberikan kemampuan masyarakat untuk menyerap nilai-nilai dari luar yang positif dan yang memang diperlukanbagi pembaharuan dalam proses pembangunan selama tidak bertentangan dengan kepribadian bangsa.

Aksara Lontara diciptakan oleh seorang lelaki bernama Daeng Pamatte, berasal dari Lakiung (Kabupaten gowa) Sulawesi Selatan. Kira-kira pada abad ke- XV–XVI.Kemudian oleh orang-orang Bugis ditambah dengan huruf (aksara) Mpa, Nre, Ngke. Karena dalam dialog suara-suara Ne, Ngke dan Mpa tak ada dalam bahasa Makassar. Dalam perwujudan, berbentuk: kasar kemudian halus. Melambangkan, bahwa orang-orang Bugis-Makassar itu,bersikap realistis,terus terang. Namun halus budi bahasanya, berwatak halus lemah lembut. Namun apabila disinggung kehormatannya (Sirik), maka timbullah kekerasannya. Pengertian kasar-halus di sini melambangkan, bahwa orang-orang Bugis-Makassar labih banyak mau memberi, dari pada menerimanya. Berbudi dan ramah-tamah. Asal mula huruf Lontara berbentuk Belah-Ketupat, kemudian dipecah-pecahkan dalam bentuk lingkaran beleh ketupat tersebut menjadi huruf-huruf aksara yang berjumlah 19 buah itu. Zaman dahulu kue-kue hidangan untuk raja-raja/orang ialah berbentuk belah ketupat.Kesemuanya melambangkan, perangai perwatakan orang-orang Bugis-Makassar yang berbudi luhur, namun dalam mempertahankan harga diri yang disinggung (dinodai ) ia akan tidak akan pernah mengenal  menyerah. Aksara Lontara merupakan suatu pertanda bahwa masyarakat Bugis-makassar mencapai taraf kebudayaan yang maju, sejalan dengan suku lain di Indonesia. Apabila hal itu ditinjau dari segi ilmu, aksara lontara merupakan perkembangan yang maju. Aksara lontara dapat digunakan untuk memindahkan pendapat/ide secara luas, baik  pendapat atau ide yang bersumberkan dari pemerintah/penguasa ataupun cendikiawan Bugis-Makassar pada waktu itu atau merupakan pencerminan tingkat peradaban yang maju dari suku bangsa pemiliknya.

Cat:
(Tulisan ini telah diterbikan oleh Jurnal Harmoni Pendidikan Seni Rupa FKIP Unismuh Makassar)

3 komentar:

  1. Waoww mantap Bro... Ternyata akhirnya Bro sekarang jadi penulis ya....Ow iya Bro Makmun.. mana rambut panjangnya yang dulu hehehehe.. Tabe, e kessipaha nareko di lampirkan daftar rujukan_nya Bro...heheheh

    HORMATKU
    Akhry Nuddin
    akhry.oghye@gmail.com

    BalasHapus
  2. mantapz... ternyata amunk skrng jdi penulis,. salam untuk angkt 94 UNM mks

    BalasHapus
  3. Yang mana tua Daeng Pamatte dengan Lagaligo dan Sarewigading..?? Karena setahu saya Karya Buku Epos Lagaligo ditulis memakai Aksara Lontara.. dan Keberadaan Lagaligo jauh ada sebelum Daeng Pamatte lahir..

    BalasHapus