Oleh. Muh. Faisal, S.Pd., M.Pd
Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Makassar
Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Makassar
Abstrak: Dalam penelitian ini ditemukan wujud akulturasi fisik (budaya material), secara visual bagian-bagian arsitektumya terdapat indikasi yang menunjukkan bahwa perwujudannya mengadaptasi unsur-unsur budaya lokal terpadu dengan unsur-unsur budaya Islam. Hal ini kemudian diikuti berbagai hasil-hasil karya cipta peninggalan kebudayaan Islam di Makassar, seperti seni rancang bangun rumah adat, makam kuno, dan ragam hias pada bangunan-bangunan lainnya. Selanjutnya dalam penelitian ini, juga ditemukan wujud akulturasi dalam bentuk gagasan yang tercermin dalam berbagai tradisi, adat-istiadat, sistem pemerintahan, ilmu pengetahuan, dan filsafat. Dalam adat-istiadat dan tradisi dapat dilihat misalnya melalui pelaksanaan upacara-upacara ritual yang memadukan tradisi setempat dengan kebudayaan Islam. Diantaranya dapat dilihat dalam bentuk upacara kematian, hakikah, sunatan, mauludan, ziarah ke makam dan musik religius tradisional (Sinrilik) dan sebagainya.
Kata kunci : Kepercayaan, Islamisasi dan Kebudayaan Sulawesi Selatan.
A. Tinjauan Sosial-Budaya MasyarakatSulawesi Selatan
Tinjauan terhadap masuknya agama dan kebudayaan Islam serta bentuk-bentuk perwujudan akulturasi kebudayaan lokal dengan kebudayaan Islam di Sulawesi Selatan dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Agama dan kepercayaan masyarakat Sulawesi Selatan pra-Islam
ebelum datangnya agama Islam, sistem kepercayaan masyarakat Sulawesi Selatan adalah Sure’ Galigo yang mengandung kepercayaan pada dewa tunggal. Pemujaan terhadap roh nenek moyang juga pernah berkembang. Hal ini ditandai dengan adanya pemeliharaan tempat–tempat keramat yang telah dikenal oleh masyarakat Makassar sejak lama. Dalam Buku Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia disebutkan bahwa sebelum datangnya agama Islam, orang Makassar mempercayai adanya tokoh-tokoh dewa, roh nenek moyang serta makhluk gaib lainnya. Pada suku Bugis Makassar dikenal adanya Batara Guru (dewa pencipta jagad), PatotoE (dewa yang menentukan nasib manusia), dewa SewuE (dewa tunggal), dan makhluk-makhluk halus lainnya yang menempati tempat-tempat angker. Sedangkan tokoh dewa tertinggi dalam keyakinan mereka disebut PatotoE atau Dewata SewuE (Dewa yang tinggi). Keyakinan lama itu masih nampak dalam pelaksanaan upacara-upacara setempat, terutama yang berkaitan dengan pertanian dan daur hidup, serta pemeliharaan tempat-tempat yang dianggap keramat yang oleh masyarakat setempat. Upacara sosial yang dilakukan oleh masyarakat setelah panen disebut upacara saukang. Tempat upacara biasa dilaksanakan di possi butta atau di kayuara (sejenis pohon kayu besar).
Bertitik tolak dari hal yang menyangkut sosial religius akan dikemukakan empat macam kepercayaan yang terdapat dikalangan masyarakat Sulawesi Selatan sebelum datangnya Islam adalah sebagai berikut:
a. Kepercayaan animisme
Kepercayaan ini beranggapan bahwa tiap-tiap benda, baik batu maupun pohon-pohon tertentu mempunyai roh. Roh-roh ini dianggap senantiasa mengganggu keturunan manusia disekelilingnya dan bila tidak mengadakan sesajian atau persembahan, maka akan ada akibatnya. Persembahan yang dilakukan ini dinamakan attauriolong. Masyarakat pada waktu itu percaya bahwa tiap-tiap tempat yang dianggap keramat bersemayam roh, terutama pada pohon-pohon besar, batu-batu besar yang ada di kali dan sebagainya. Apabila seseorang merasa dirinya mendapat gangguan dari roh-roh ini, seperti mendapat malapetaka atau sakit, maka ia berkewajiban mengadakan persembahan atau persajian. Tujuan persembahan ini dimaksudkan agar roh-roh tadi tidak mengganggu lagi anggota masyarakat.
Menurut pandangan antropologi, kaum animisme mempersonifikasikan tenaga-tenaga alam gaib yang diluar kontrol manusia, menjadi dewa-dewa. Segala sesuatu yang diluar dari kekuasaan manusia, diserahkan kepada dewa. Mereka menjadi sasaran kultus, ritus, sesajen, dan permohonan. Untuk keperluan tertentu dipuja dewa tertentu pula, yang dinyatakan melebihi dewa-dewa lain. Demikian halnya dalam masyarakat Gowa pra-Islam juga mempercayai banyak dewa, paham yang menganut kepercayaan banyak Tuhan atau dewa dalam antropologi dinamakan poloteisme (belief in a plurality of gods), salah satu diantaranya adalah Tokammaya Kanana yang dianggap sebagai dewa tertinggi. Dialah yang menciptakan alam dan segala isinya, Dewa Ampatana yaitu dewa pengawas dan pemelihara ciptaan, Dewa Patanna Lino yaitu dewa khusus yang menjaga manusia.
b. Kepercayaan dinamisme
Kepercayaan ini beranggapan bahwa tiap-tiap benda baik tumbuh-tumbuhan, maupun binatang mempunyai kekuatan gaib. Untuk mendapatkan kekuatan tambahan dalam menghadapi roh-roh jahat, maka manusia menambahkan kekuatan dengan jalan menggunakan kekuatan-kekuatan yang ada pada setiap benda tadi. Usaha ini merupakan manifestasi timbulnya jimat-jimat, dan perkembangannya sampai sekarang masih dapat kita lihat terutama biasa dipakai anak-anak yang diikatkan pada perut anak-anak sebagai unsur kekuatan untuk menolak roh-roh jahat.
c. Kepercayaan makhluk halus
Masyarakat Sulawesi Selatan, jauh sebelum mengenal agama Islam, mereka sudah mengenal kepercayaan terhadap dewa-dewa dan makhluk gaib sebagaimana dengan suku-suku bangsa lainnya. Mattulada dalam Suhadi mengemukakan bahwa sebelum datangnya agama Islam, sistem kepercayaan masyarakat Sulawesi Selatan adalah Sure’ Galigo yang mengandung kepercayaan pada dewa tunggal. Pemujaan terhadap roh nenek moyang juga pernah berkembang. Hal ini ditandai dengan adanya pemeliharaan tempat–tempat keramat yang telah dikenal oleh masyarakat Makassar sejak lama.
Kepercayaan terhadap makhluk-makhluk halus timbul dari kesadaran masyarakat animisme tentang jiwa atau soul yang menempati seluruh alam. Makhluk-makhluk halus ada yang bersahabat dengan manusia dan juga ada yang jahat. Makhluk halus yang jahat diistilahkan oleh Abu hamid sebagai pesona-pesona jahat, terdiri atas parakang, poppo, dan tujua. Makhluk-makhluk halus tersebut sangat sangat ditakuti, karena bisa mendatangkan penyakit dan kematian (Ahmad M Sewang, 2005:49).
d. Kepercayaan dewata seuwwaE
Dewata seuwwaE adalah pengatur alam semesta beserta segala isinya termasuk manusia. Dewata sewwaE adalah pusat manusia, hewan dan mahluk lainnya meliputi mahluk halus, orang yang masih hidup maupun yang telah mati semua itu tergantung padanya. Disamping itu juga mempercayai dewa-dewa leluhur lainnya yang senantiasa mengancam seluruh aspek kehidupan manusia dengan cara mendatangkan penyakit, tetapi dapat pula mendatangkan keselamatan dengan cara melimpahkan rezeki. Kepercayaan itu merupakan warisan turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya dan sudah mendapat mitos dalam kehidupan mereka.
Pandangan nenek moyang bangsa Indonesia terhadap semesta alam, pada dasarnya hampir sama di daerah lain. Fenomena tersebut antara lain dapat dilihat dalam mitos mereka mengenai pandangan kosmologi yang dapat dilihat dalam kepercayaan mereka bahwa alam ini terdiri atas tiga lapisan banua, yaitu boting langik“(dunia atas), kale lino (dunia tengah), dan paratiki atau pertiwi (dunia bawah). Untuk menghindari malapetaka tertentu, seperti penyakit menular, hama tanaman, kekeringan, dan sebagainya, mereka melakukan upacara pemujaan terhadap dewa. Pemujaan dipimpin oleh seorang tokoh yang mereka namakan anrongguru (Makassar), anreguru (Bugis). Mereka juga mempercayai dewa-dewa bawahan yang disebut puang lohate. Ia bertugas untuk menggerakkan peristiwa alam. Dewa-dewa bawahan ini berada di semua tempat. Oleh karena itu, penyembahan dapat dilakukan di kampung sendiri, walau masyarakat mempercayai bahwa pusat dewa terdapat di Gunung Bawakaraeng (Ahmad M Sewang, 2005:49).
Mereka juga percaya adanya kekuatan sakti pada benda-benda dan alam gaib. Kepercayaan serupa dapat dilihat dari suku Dayak di Kalimantan, suku Asmat di Irian Jaya sampai ke orang Atoni di pulau Timor. (Agraha Suhandi, 1994:224). Demikian pula dengan masyarakat Bugis-Makassar, Mandar, dan Toraja di Sulawesi Selatan yang menempati wilayah perbatasan antara Indonesia Bagian Timur dan Indonesia Bagian Barat.
Agraha Suhandi (1994:224) mengemukakan bahwa:
Manusia prasejarah memandang hidup ini sebagai bagian dari totalitas dari alam (manusia sebagai salah satu bagian dari alam mikrokosmos dari totalitas alam sebagai makrokosmos) yang senantiasa berusaha menjaga keharmonisan hubungan antara makrokosmos dan mikrokosmos.
Tradisi keagamaan yang pada umumnya berkembang dalam masyarakat Makassar dapat dibagi dalam dua azas, yakni 1) kepercayaan lama yang bersumber dari tradisi keagamaan nenek moyang, 2) kepercayaan yang bersumber dari Islam. Kedua azas kepercayaan ini berbaur dalam praktek upacara-upacara.
Kepercayaan lama yang bersumber dari tradisi keagamaan nenek moyang terdiri atas tiga aspek, yaitu (1) kepercayaan terhadap arwah nenek moyang, (2) kepercayaan terhadap dewa-dewa agama Patuntung, (3) kepercayaan terhadap pesona-pesona jahat (Ahmad M Sewang, 2005:45).
Aspek kepercayaan terhadap arwah nenek moyang dinyatakan dengan pemujaan terhadap 1) tempat dan benda-benda tertentu, 2) kuburan. Pemujaan terhadap tempat dan benda-benda, misalnya batu naparak (batu datar), pohon kayu besar, gunung sungai dan posi butta. Pemujaan terhadap kuburan-kuburan yang dipahami memiliki sejarah tertentu, yaitu kuburan orang yang berjasa membangun pemukiman dan memberi keselamatan, kuburan orang-orang suci (ulama) dan wali. Kuburan tersebut dianggap keramat, sedangkan tempat dan benda-benda yang dipuja itu dianggap sakral. Fungsi arwah nenek moyang dianggap selalu mengawasi, meliputi keturunannya dan memberi keselamatan di dunia dan di hari kemudian. Oleh karena itu perlu diberi sesajian guna memelihara kesinambungan hubungan harmonis (Abu Hamid, 1994:47).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bangsa Indonesia pada dasarnya menganut pandangan hidup dan pandangan terhadap alam sekitarnya yang secara umum tampak dalam sistem kepercayaan mereka. Bangsa Indonesia, juga percaya bahwa manusia mempunyai ikatan erat dengan alam (kosmos) serta mempunyai hubungan timbal-balik satu sama lain. Dalam kepercayaan demikian, manusia dipandang sebagai dunia kecil (mikrokosmos) dan merupakan bagian dari makrokosmos atau alam semesta yang berpengaruh di dalam semua segi dan aktivitas kehidupan mereka. Sedangkan usaha-usaha untuk mempertahankan keseimbangan magis, tidak hanya antara manusia dengan alam, tetapi juga keseimbangan antara magis dengan lingkungan keluarga, dan sebagainya.
Sumber lain menyebutkan bahwa masyarakat Bugis-Makassar pada masa lampau (sebelum Islam), telah mengenal konsep tauhid (dasar monotheisme) dengan kata Dewata. Mereka telah mengenal monotheisme kuno, yakni konsep Dewata SeuwwaE (Dewa atau Tuhan Yang Esa) yang berciri: tidak beranak, tidak berayah. Dewata = Tuhan, SewuE = Esa. Pengertian tersebut sesuai dengan kandungan Surat Al-Ikhlas. Karena itu, dengan mudah mereka menerima ajaran Islam ketika ditawarkan, sehingga dalam kehidupan kemasyarakatan terjadi akulturasi budaya, adat, dan norma agama, sekalipun larangan ajaran Islam seperti minum arak, judi, sabung ayam, mencuri, beristeri banyak, dan lain sebagainya, juga masih mewarnai kehidupan masyarakat.
Demikian gambaran umum tentang sistem kepercayaan yang terdapat pada setiap suku bangsa di Indonesia, termasuk bagi masyarakat Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan.
Berdasarkan gambaran di atas, maka dapat dikatakan bahwa latar belakang upacara-upacara dan pemujaan manusia prasejarah merupakan perwujudan dari pandangan bahwa mereka adalah bagian dari alam raya sekelilingnya. Mereka senantiasa tergantung kepada kekuatan alam, baik selagi hidup maupun sesudah mati, karena sesudah mati mereka percaya masih ada lagi kehidupan lain yang juga masih dalam lingkungan alam raya tadi. Berdasarkan pandangan bahwa kehidupan ini merupakan perpaduan antara langit dan bumi, maka falsafah mereka adalah falsafah “langit” dan “bumi”. Dengan demikian dewa penguasa langit dan bumi inilah yang diserunya dalam do’a-do’a bila mereka mengadakan upacara-upacara ritual.
Walaupun masyarakat Makassar sudah sejak lama memeluk agama Islam, namun dalam kehidupan sehari-hari, sebagian dari mereka masih mempertahankan sisa-sisa keyakinan pra-Islam. Keyakinan lama itu masih nampak, yakni dengan adanya pemeliharaan terhadap tempat-tempat yang dianggap keramat. Di samping kepercayaan terhadap dewa-dewa, masyarakat Sulawesi Selatan, juga percaya terhadap makhluk-makhluk halus yang hidup di tempat–tempat yang dikeramatkan. Karena itu, pemujaan terhadap roh nenek moyang, juga pernah berkembang. Hal ini ditandai dengan adanya pemeliharaan tempat–tempat keramat yang dikenal dengan nama saukang.
Selain itu, mereka juga percaya adanya kekuatan-kekuatan sakti pada benda-benda tertentu. Salah satu peninggalan prasejarah yang dimaksud ialah menhir, yakni berupa bangunan yang melambangkan arwah nenek moyang dan menjadi benda pujaan pada masa lampau.
2. Masuknya agama Islam di Sulawesi Selatan
Dalam sejarah perkembangan Islam, Indonesia termasuk kawasan yang paling akhir mendapat pengaruh kebudayaan Islam. Mungkin karena secara geografis Indonesia terletak paling jauh dari tempat kelahiran agama Islam. Tercatat bahwa baru sekitar abad ke-13 Masehi, agama Islam meluas di Nusantara. Islamisasi pertama adalah sekitar abad ke-13 M di Aceh dan Samudera Pasai, abad ke-15 di Semenanjung Melayu atau akhir abad ke-15 di pesisir pantai Utara pulau Jawa (Damais, 1995:171).
Terlepas dari itu, para pengamat sejarah kebudayaan Islam melihat bahwa Islamisasi di Indonesia jauh berbeda dengan pengembangan Islam ke negara lain. Misalnya Turki, Mesir, Persia, India yang umumnya terjadi melalui ekspansi kekuatan politik dunia Islam. Sedangkan kehadiran Islam melalui jalur budaya di kalangan masyarakat Indonesia, terjadi melalui proses asimilasi dan akulturasi budaya, dan langsung meresap ke dalam jiwa para pemeluknya membaur dengan tradisi setempat. Karena itu pula, tidaklah mengherankan jika nafas Islam hanya memberi warna pada tradisi Indonesia dan tidak mengubah tradisi yang ada - sehingga terciptalah budaya baru yang bernuansa Islami. Islam mentransformasikan ke dalam nilai-nilai ajaran Islam. Hal ini juga tampak pada beberapa bentuk kesenian di Indonesia. Ungkapan keindahan dan kebesaran Ilahi menyatu dengan upacara-upacara ritual, da’wah, dan penyampaian ajaran-ajaran moral.
Penyebaran Islam ke berbagai daerah di Nusantara tidaklah berlangsung secara bersamaan. Kedatangan Islam di Sulawesi Selatan, agak terlambat dibanding dengan daerah lainnya di Indonesia, seperti Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Maluku. Hal ini disebabkan Kerajaan Gowa barulah dikenal sebagai kerajaan yang berpengaruh dan menjadi kerajaan dagang pada akhir abad XVI atau awal abad XVII. Dalam kurun waktu tersebut para pedagang muslim dari berbagai daerah Nusantara dan para pedagang asing dari Eropa mulai ramai mendatangi daerah ini. Menurut Lontarak Pattorioloang (lontarak sejarah), nantilah pada masa pemerintahan Raja Gowa X (1546-1565), Tonipallangga, barulah ditemukan sebuah perkampungan muslim di Makassar, penduduknya terdiri atas para pedagang melayu yang berasal dari Campa, Patani, Johor dan Minangkabau (Ahmad M Sewang, 2005:1).
Berkembangnya Islam atau Islamisasi adalah penyebaran Islam di suatu wilayah atau dari tempat ke tempat yang lain melalui dakwah hingga terbentuknya masyarakat Muslim. Dalam kenyataannya masuk dan berkembangnya Islam seringkali sukar ditarik garis pemisah. Hal ini disebabkan setelah agama Islam dianut oleh seseorang atau sekelompok orang, syi’ar Islam dengan sendirinya akan berlangsung diantara sesama dan sahabat terdekat atau di dalam satu keluarga seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW pada awal mulanya. Islam menggariskan bahwa setiap muslim berkewajiban menyampaikan sesuatu yang diketahuinya tentang agamanya. Itulah sebabnya di dalam syi’ar Islam tidak membedakan tugas antara pedagang, muballig, dan penguasa. Dengan demikian berdirinya suatu kerajaan yang bercorak Islam biasanya didahului dengan terbentuknya suatu masyarakat Islam yang kuat, termasuk di Makassar Sulawesi Selatan. Di Indonesia keberadaan negara atau kerajaan yang bercorak Islam ditandai dengan masuknya Islam penguasa (raja) mereka yang ditandai dengan pemakaian nama atau gelar Sultan atau yang senafas dengan itu, meskipun pada dasarnya tidak seluruh rakyatnya memeluk agama yang baru itu (Azyumardi Azra, 1999:90-93).
Menurut teori yang dikembangkan oleh Noorduyn, proses islamisasi di Sulawesi Selatan tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lainnya di indonesia, yaitu melalui tiga tahap yaitu: 1) kedatangan Islam, 2) penerimaan Islam, dan 3) penyebaran lebih lanjut.
dapat yang senada dikemukakan oleh H.J. de Graaf. Namun, ia lebih menekankan pada pelaku Islamisasi di Asia Tenggara yang analisisnya didasarkan pada literatur Melayu. Graaf berpendapat: Islam didakwakan di Asia Tenggara melalui tiga metode: yakni oleh para pedagang muslim dalam proses perdagangan yang damai, oleh para dai dan orang suci (wali) yang datang dari India atau Arab yang sengaja bertujuan mengislamkan orang-orang kafir dan meningkatkan pengetahuan mereka yang telah beriman, dan terakhir dengan kekerasan dan memaklumkan prang terhadap negara-negara penyembah berhala.
Teori-teori tentang proses islamisasi di atas dapat dipakai sebagai acuan untuk menganalisis islamisasi di kerajaan Gowa. Kedatangan Islam di Makassar seperti yang dikemukakan oleh Noorduyn adalah ketika pertama kali para pedagang Melayu muslim mendatangi daerah ini. Kata Melayu yang dimaksudkan dalam pengertian orang Makassar masa itu, tidak hanya terbatas pada wilayah daerah Riau dan Semenanjung Malaka, seperti yang diartikan sekarang, tetapi juga meliputi seluruh Pulau Sumatra, sehingga ketika Datuk ri bandang yang datang dari Koto Tangah Minangkabau di Makassar sebagai mubalig Islam, dia disebut sebagai orang melayu.
Hubungan baik antara pedagang Melayu dengan penduduk setempat, menyebabkan mereka mendapatkan tempat istimewa di hati raja. Tidak heran, jika Raja Gowa yaitu Tonijallo (1565-1590) memberikan fasilitas tempat ibadah, sebua masjid, ditempat pemukiman mereka, di Mangallekana. Pemberian fasilitas masjid menandakan bahwa perhatian kepada para pedagang muslim. Beberapa sumber lokal mengemukakan, peranan orang-orang Melayu dalam bidang perdagangan dan penyebaran Islam cukup berarti dalam upayanya untuk membendung pengaruh Katolik. Selanjutnya orang-orang Melayu dalam penyebaran agama Islam mengupayakan mendatangkan mubalig-mubalig Islam, seperti kedatangan tiga mubalig dari Koto Tangah Minangkabau yaitu: (1) Abdul Makmur yang di sebut pula Datuk ri Bandang, yaitu khatib tunggal (Katte Tunggala) yang mengislamkan raja Tallo dan raja Gowa. Melalui perlindungan dari raja, Datuk ri Bandang menekankan pengajaran Syariat di kalangan rakyat, Menurut sebuah cerita Makassar, dia datang dari palembang ke Makassar. Dia dapat dianggap sebagai ahli, terbukti dari sebuah berita di Jawa, yang menyebutkan dia sebagai seorang murid dari Sunan Giri (J.Noorduyn, 1972:33). (2) Khatib Sulaiman atau dikenal pula sebagai Datuk Patimang (khatib sulung), yaitu khatib yang yang menekankan pada pengetahuan Tauhid yang diajarkan kepada penduduk yang erat berpegang pada kepercayaan Dewata SeuwaE, yaitu suatu kepercayaan pra-Islam yang menganggap adanya Tuhan yang Esa. Datuk Patimang menyebarkan Islam di daerah Luwu, sehingga beliau dipahami sebagai orang yang mengislamkan Datu Luwu, La Paiware Daeng Parabbung, yang kemudian diberi gelar Arab, Sultan Muhammad, dan (3) Abdul Jawad (khatib bungsu) yang dikenal dengan nama Datuk ri Tiro yaitu khatib yang menyebarkan Islam di bagian selatan Jazirah Sulawesi Selatan dan menekankan pelajaran tasauf kepada rakyat, sesuai dengan keinginan penduduk yang lebih menyukai hal ihwal yang bersifat kebatinan (Abu Hamid, 1994:74).
Penerimaan Islam diterima langsung oleh elite penguasa kerajaan, yaitu Raja Tallo dan Raja Gowa kemudian disosialisasikan dan berkembang kepada masyarakat bawah. Pola ini biasa disebut top down.
Banyak versi cerita rakyat (mitos) tentang kedatangan Datuk ri Bandang di Makassar. Diantaranya, seperti yang dikutip oleh Noorduyn, Datuk ri Bandang tiba di pelabuhan Tallo pada tahun 1605 dengan menumpang sebuah perahu ajaib. Setelah tiba di pantai, datuk itu langsung melaksanakan sembahyang. Mendengar berita kedatangan datuk, Raja Tallo, I Malingkang Daeng Manyomi Karaeng Katangka, segera datang menemuinya. Tetapi, ditengah jalan, ia bertemu dengan seorang tua yang menanyakan tujuan perjalanannya. Orang tua tadi menuliskan sesuatu di atas ibu jari Raja Tallo. Setelah ia menitipkan salam kepada Datuk ri Bandang. Ternyata kemudian yang ditulis di atas kuku Raja Tallo tadi adalah Surah Al-Fatihah. Kemudian Datuk ri Bandang berkata kepada Raja Tallo behwa orang tua tadi adalah Nabi Muhammad SAW. Pertemuan antara Raja Tallo dengan Nabi Muhammad itu dalam bahasa Makassar disebut, ”Makkasara’mi Nabbi Muhammad ri buttaya ri Tallo”, (Nabi Muhammad menjelma atau menampakkan diri di Kerajaan Tallo). Sebagian orang Makassar memberi interpretasi ’kalimat itu’ sebagai asal mula nama kota ;Makassar’. Tetapi interpretasi tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Karena nama ’Makassar,’ telah dikenal sejak abad XII, sebagaimana yang tertulis dalam buku Nagarakertagama, karangan Prapanca (1364), pada syair ke-14 (Ahmad M Sewang, 2005:98).
Perkataan Makassar diperkuat oleh Prof. Mattulada yang menyebutkan bahwa Makassar barulah ditemukan untuk pertama kalinya dalam kitab Negarakertagama tulisan Prapanca di zaman Patih Gajah Mada dari Majapahit (1254-1292). Beberapa kalimat dari kitab tersebut telah disitir oleh Mattulada sebagai berikut:
Muwawah tanah i Bantayan pramuka Bantayan len Luwuk teng Udamakatrayadhi nikanang sanusaspupul ikangsansanusa Makassar Butun Banggawi kuni oraliyao mwangi selaya sumba Soto Muar (Mattulada, 1982:8).
Menurut kalimat-kalimat tersebut di atas, seluruh Sulawesi menjadi daerah ke VI kerajaan Majapahit, yaitu Bantayan (Bantaeng), Luwuk (luwu), Udamakatraya (Talaud), Makassar (Makassar), Butung, Banggawi (Banggai), Kunir (P.Kunyit), Selaya (Selayar), Solot (Solor), dan seterusnya. Makassar, dengan demikian memang telah dikenal, akan tetapi nama Gowa sama sekali tidak disebut-sebut. Sekiranya apakah Makassar sama juga dengan Gowa atau Gowa sebagai negeri orang Makassar barulah dikenal setelah berlalunya masa pemerintahan Majapahit (Pananrangi hamid, 1990:15).
Masyarakat Makassar sebagian besar beragama Islam (kira-kira 90 % dari jumlah penduduknya). Sedangkan 10 % sisanya, memeluk agama lain. Karena itu, norma dan tata cara melakukan upacara diwarnai oleh agama Islam tersebut. Bahkan pada masa jayanya kerajaan Gowa, Islam dijadikan sebagai agama kerajaan. Aliran-aliran yang berdasarkan agama yang ada di kalangan masyarakat Makassar antara lain Tarekat Khalawatiah, Tarekat Naqsyabandiyah, Tarekat Ba’alawiyah, Tarekat Qodiriyah, Tarekat Syattariyah, Mazhab Syafi`i, dan Mazhab Syi’ah. Melihat asal-usul dan perkembangan tarekat di Sulawesi Selatan, maka pusatnya sampai sekarang adalah Luwu, Maros (daerah raja Tallo) dan Sungguminasa Gowa (tempat tarekat Khalawatiah memegang dominasi) (Halide, 1993:258).
Pengaruh agama Islam dalam masyarakat Makassar telah jauh meresap ke dalam norma-norma dan sistem kehidupan masyarakat. Hal ini terlihat pada saat diterimanya agama Islam sebagai agama kerajaan, yakni Lembaga Adat yang disebut Pangngadakkang. Pranata sosial dalam Pangngadakkang (bahasa makassar) atau pangngaderang (bahasa bugis) yang dimaksud adalah: (1) Adak (adat kebiasaan), (2) Rapang (persamaan hukum), (3) Bicara (undang-undang), (4) Wari (pelapisan sosial). Sebagaimana halnya struktur pemerintahan kerajaan, maka unsur-unsur pangadakkang pun yang telah ada sebelumnya tetap berlanjut setelah Islam diterima sebagai agama negara. Islam hanya memperkaya dengan menambahkan satu unsur lagi yang disebut sarak (syariat). Sebagai pranata Islam, sarak diakui sebagai salah satu unsur dalam struktur pemerintahan. Pejabat sarak pada tingkat pusat adalah Daeng Ta Kaliya yang menduduki jabatan tertinggi dalam bidang keagamaan. Datuk ri Bandang dikenal sebagai penyebar Islam pertama di daerah kerajaan Gowa-Tallo, sekaligus menjabat sebagai Daeng Ta Kaliya yang pertama. Disamping itu, beliau juga menjadi penasihat sombaya di bidang keagamaan.
Seperti juga halnya dengan agama-agama lain, Islam adalah kekuatan spritual dan moral yang mempengaruhi, memotivasi, dan mewarnai tingkah laku Individu. Islam secara perlahan tapi pasti berhasil membentuk kantong-kantong masyarakat perdagangan di sejumlah kota besar. Komunitas Muslim itu lalu membentuk suatu sinkretisme yang menekankan aspek kebudayaan Islam. Pada titik ini, persoalan yang segera ditemui adalah unsur pembentuk tradisi tersebut. Muhaimin mengimplikasikan bahwa istilah ”tradisi” secara umum dipahami sebagai pengetahuan, doktrin, kebiasaan, praktek, dan lain-lain yang diwariskan secara turun-temurun, termasuk cara penyampaian pengetahuan, doktrin dan praktek tersebut. Selanjutnya tradisi Islam merupakan segala hal yang datang dan atau dihubungkan dengan jiwa Islam (A.G. Muhaimin, 2001:12).
Akhirnya suatu tradisi atau unsur tradisi bersifat Islami, ketika pelakunya bermaksud atau mengaku bahwa tingkah lakunya sesuai dengan jiwa Islam.
Penutup
Peranan ulama dan para penyebar Islam di Sulawesi Selatan berfungsi sebagai pendukung legitimasi kekuasaan raja. Legitimasi tersebut antara lain melalui isyarat-isyarat genealogis (silsilah) maupun kesinambungan keturunan yang diperlukan agar transformasi Islam tidak akan menimbulkan chaos dan disharmoni. Dalam perkembangan kemudian, lambat-laun terjadi pula arus transformasi dalam sosialisasi Islam, yang semula dilakukan oleh para imigran asing, untuk selanjutnya dilakukan oleh ulama-ulama lokal/pribumi. Di Sulawesi Selatan, dikenal Datu ri Bandang dan kawan-kawan dari Sumatera Barat yang mengislamkan Makassar, meskipun arus sosialisasi Islam juga berasal dari Giri (A. Hasymi, 1993:495).
Berdasarkan keterangan di atas, penulis menggaris bawahi bahwa sekalipun dalam beberapa referensi disebutkan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia, termasuk di Sulawesi Selatan dibawa oleh para pedagang Muslim, namun misi tersebut bukanlah tujuan utamanya. Misi perdagangan hanyalah salah satu media yang dimanfaatkan oleh para penyiar agama Islam sebagai saluran islamisasi. Dalam arti bahwa proses islamisasi, dilakukan secara bertahap, dan berkesinambungan melalui pendekatan persuasif lewat para penguasa masyarakat atau raja. Dengan pendekatan ini, maka dengan mudah agama Islam diterima oleh kelompok masyarakat pemeluknya kemudian menyebar luas. Demikianlah gambaran singkat tentang proses islamisasi di Sulawesi Selatan.
Cat:
(Tulisan ini telah diterbikan oleh Jurnal Harmoni Pendidikan Seni Rupa FKIP Unismuh Makassar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar